[Resensi Buku #6] Guru Aini - Andrea Hirata

Judul Buku : Guru Aini
Penulis : Andrea Hirata
Penerbit : PT Bentang Pustaka
Tahun Terbit : Februari 2020, Cetakan Pertama
Dimensi : xii + 336 hlm. ; 20,5 cm
Harga : Rp 94.150,- (harga promo + dapat gantungan kunci sepatu)


"Mengajarimu matematika macam mengajari ayam mengeong!" bentak Guru Desi kalau sudah tak tahan menjejal-jejalkan ilmu ke dalam kepala Aini.

Ai, matematika, mengapa kau sulit sekali?! Mengapa aku tak kunjung mengerti?! Dari manakah angka-angka ini bermula? Kemanakah mereka akan pergi?!

Bab : Bagaimana Kau Bisa Lupa Sesuatu yang Kau Tak Pernah Tahu? hal.:170-171

Memang Andrea Hirata ini novelis handal dan berpengalaman, bisa-bisanya kisah seorang guru, murid dan pelajaran matematika bisa menjadi ide cerita yang menarik?

Novel Guru Aini merupakan prekuel novel Orang-Orang Biasa. Prekuel adalah istilah yang masih asing bagiku sebelum mulai membaca novel ini.

Prekuel dalam karya sastra, drama dan film adalah sebuah karya yang ceritanya berlatar sebelum karya sebelumnya, yang berfokus pada kejadian yang terjadi sebelum kisah aslinya. Sebuah prekuel adalah karya yanng membentuk bagian dari asal mula karya sebelumnya.

Tak masalah meski aku sendiri belum membaca novel Orang-Orang Biasa, jadi aku bisa lebih dulu tahu latar belakang kisahnya.

Baik, mari kita bahas novel Guru Aini.

Novel ini bermula dengan kisah seorang gadis bernama Desi Istiqomah, berasal dari keluarga pedagang sembako yang cukup mampu membiayai pendidikannya. Siapapun yang membujuknya melanjutkan pendidikan di bidang lain, hingga Ibu Desi memanggil Kepala Sekolah ke rumah, ia tetap ngotot memilih program D-3 matematika yang diadakan pemerintah. Sudah sejak kelas 3 SD, sejak bertemu Guru Marlis, Desi bercita-cita menjadi guru matematika. Sebenarnya saat penentuan lokasi tugas bagi lulusan program D-3 matematika angkatannya, Desi adalah lulusan terbaik yang berhak memilih lokasi tugasnya sendiri, namun ia lebih memilih mengikuti undian seperti teman-temannya. Desi lega melihat kertas undian, tertulis Bagansiapiapi, setidaknya Ibu Desi tidak perlu begitu mengkhawatirkan dirinya. Namun, demi melihat temannya, Salamah, yang menangis terisak-isak, ia tidak tega. Desi menukar kertas undiannya dengan kertas undian milik Salamah. Jadilah ia, Desi Istiqomah, bertugas di sebuah pelosok antah berantah, Tanjong Hampar. Mengajar matematika di daerah terpencil memang sudah menjadi keinginannya sejak dulu.

Dengan mengenakan pakaian muslimah hadiah dari Ibunya, sepatu baru berwarna putih bergaris merah yang diikatkan dengan cara yang aneh oleh ayahnya, menggendong sebuah tas ransel besar dan memeluk buku Principle of Calculus, selama 5 hari 5 malam, gadis 18 tahun itu melakukan perjalanan tanpa jeda, ditambah 16 jam di atas kapal terombang-ambing oleh gelombang laut, aku yang membaca sampai merinding membayangkan, hingga Desi mengalami PTSD (Post Traumatic Stress Disorder). Begitu traumatik sehingga Desi menjadi linglung.

Singkat cerita, Desi Istiqomah telah tinggal di sebuah rumah dinas dan kondang sebagai guru matematika di sebuah SMA di desa Ketumbi. Tidak hanya kondang sebagai guru matematika yang sangat brilian, tetapi juga karena penampilannya yang eksentrik, baju muslimahnya tidak pernah match dengan sepatu olahraga putih bergaris-garis merah itu. Konon, Guru Desi bersumpah tidak akan mengganti sepatunya hingga ia menemukan seorang murid yang genius matematika. Idealisme terus bertahan, hingga bertahun-tahun Guru Desi tidak mengganti sepatunya, tidak seperti penelitian antah berantah yang menyebutkan idealisme anak muda hanya bertahan paling lama 4 bulan setelah tamat dari perguruan tinggi.

Disebabkan karena idealismenya yang tinggi, Guru Desi juga terkenal menjadi guru yang galak dan paling ditakuti, terlebih setelah Guru Desi patah hati, merasa disia-siakan oleh seorang murid genius matematika bernama Debut Awaludin.

Adalah Aini, seorang gadis yang berasal dari keluarga miskin, ayahnya hanya seorang pedagang mainan anak-anak. Aini memiliki penyakit yang aneh, sejak kelas 3 SD, ia selalu menderita sakit perut ketika belajar matematika. Aini dan dua teman lainnya bergabung menjadi Trio Aljabaria, selalu setia berdiri di depan kelas karena tidak bisa mengerjakan soal matematika. Trio Aljabaria juga setia menghapus papan tulis saat pelajaran matematika, meski bukan giliran piket kebersihan.

Saat duduk di kelas 1 SMA, keluarga Aini mendapat musibah. Ayah Aini tiba-tiba menderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan, hanya bisa berbaring. Demi membantu keluarga, Aini dan Ibunya bergantian merawat sang ayah dan berjualan mainan anak-anak, menyebabkan Aini tidak naik kelas. Seorang tabib mengatakan bahwa penyakit Ayah Aini adalah penyakit baru yang hanya dapat disembuhkan dengan ilmu kedokteran modern. Sejak saat itu Aini bertekad ingin menjadi dokter agar dapat menyembuhkan ayahnya. Aini teringat pada kalimat Guru Tabah, "Matematika adalah ibu bagi fisika, kimia, statistika, arsitektur, komputer, biologi, kedokteran, dan..." Konflik menjadi sangat rumit semenjak Aini - si bodoh matematika, bersikeras pindah kelas. Aini ingin belajar matematika langsung dari guru matematika paling hebat, Guru Desi.

Alangkah bagusnya pendidikan di negara kita jika guru-guru di sekolah memiliki karakter dan idealisme seperti Guru Desi. Jika ada murid yang memiliki keinginan belajar yang tinggi, sebodoh apapun anak itu, maka sang guru berusaha mencari cara hingga si murid betul-betul paham dan mampu menerima pelajaran. Salut banget sama Aini yang tetap gigih belajar meski setiap hari kena dampratan halilintar dari Guru Desi, hahaha.

Menurutku novel ini gak melulu serius tentang idealisme dan kerja keras meraih impian, Andrea Hirata sesekali menyisipkan humor dengan menghadirkan tokoh Enun dan Sa'diah sebagai sahabat Aini dalam Trio Aljabaria. Aku membayangkan Guru Tabah yang sangat tabah itu juga lucu kayaknya, hahaha.

Dengan membaca novel Guru Aini, aku beranggapan, selain pandai merangkai kata Andrea Hirata juga pintar matematika, terlihat dari konsep matematika yang disampaikannya melalui tokoh Guru Desi. Hhmm, aku jadi merasa sedikit menyesal, kenapa dulu setengah-setengah belajar matematika. Oh, lupakan.

Karena novel Guru Aini adalah prekuel dari novel Orang-Orang Biasa yang sudah terbit lebih dulu, jadi akhir cerita novel ini memang terkesan menggantung. Aini lulus tes ujian masuk fakultas kedokteran, tapi tidak diterima karena tidak mampu secara finansial. Ah, aku belum baca novel Orang-Orang Biasa, jadi pingin tau kelanjutan kisahnya.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

[Resensi Buku #4] Si Anak Spesial

[Resensi Buku #7] Cinta Semanis Kopi Sepahit Susu

[Resensi Buku #5] Trilogi Soekram