[Resensi Buku #9] Selamat Tinggal - Tere Liye

Benih-benih yang sudah tertanam, meski sekali waktu sempat terlupa,

ia akan tetap ada dan senantiasa menanti untuk berbunga.

Untuk sekian lama, aku tak pernah berniat untuk benar-benar berhenti dari dunia ini.

Sungguh, tanpa membaca aku dahaga, tanpa menulis aku bukan siapa-siapa.


Kali ini ijinkan daku mengutarakan sedikit makna yang mampu kucerna dari jutaan kata yang tertuang dalam novel dengan judul “Selamat Tinggal” yang ditulis oleh novelis luar biasa bangsa ini, semua pembaca tentu tidak asing lagi dengan namanya.


Captured by Redmi Note 8 Pro


Tere Liye. Meski baru beberapa buku yang kubaca dan kumiliki dari 50 buku lebih yang sudah beliau tulis, aku selalu suka setiap kali membacanya. Bahkan aku tak pernah berpikir seribu kali ketika ingin membeli, tak perlu pula membaca ulasan dari pembaca lain terlebih dahulu, karena aku selalu yakin, cerita yang beliau tulis selalu menarik untuk dinikmati.


Jujur saja, sejak pertama hingga kini aku membaca karya-karyanya, aku tak pernah merasa waktuku terbuang sia-sia. Justru aku merasa beruntung. Dengan bahasa yang ringan, dengan kisah-kisah yang masuk akal dan dekat dengan keseharian kita, tulisan beliau selalu berhasil membuka cakrawala pengetahuan baru bagiku.


Novel Selamat Tinggal yang kubaca ini merupakan cetakan ketujuh pada bulan Mei 2021, yang mana cetakan pertama diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama pada 2020. Di sini Tere Liye menulis tentang seorang penulis yang menelusuri jejak tentang penulis terdahulu yang nyaris tak pernah disebut dalam sejarah. Aku pun baru mengetahui nama Sutan Pane dari novel ini.


Ah, aku jadi ingat tokoh Yang Xi, anak SMA dalam drama Cina “When We were Young”. Dia memang tak pandai matematika, fisika maupun bahasa Inggris. Sampai-sampai ibunya selalu memarahi karena ia malas sekali ketika disuruh belajar. Ia lebih suka membaca novel. Tapi ternyata soal politik dan sejarah negaranya justru ia sangat paham. “Makanya jangan baca buku pelajaran sejarah, baca novel dong.” Kira-kira gitu kata Yang Xi pada Hua Biao si juara kelas.


Lah, kok jadi ngomongin drama cina?


Oke kita balik lagi ke drama, eh, novel Selamat Tinggal. Tokoh utamanya bernama Sintong Tinggal, nama yang janggal menurutku, tapi justru dengan memberi nama yang unik seperti ini, tokoh-tokoh dalam novel Tere Liye selalu mudah diingat.


Sintong sebenarnya adalah seorang yang cerdas, namun di kampusnya ia bertahan sebagai mahasiswa abadi, hingga sang Dekan memberi satu semester lagi. Jika ia tak berhasil menyelesaikan skripsi di kesempatan terakhir itu, terpaksa kampus mengeluarkannya tanpa ijazah, alias DO (drop out).


Novel ini bukan hanya mengisahkan tentang mahasiswa yang berjuang menuju sidang skripsi, bukan pula sekadar romansa cinta yang membumbui hari-hari sang lelaki. Di sini Tere Liye menyuarakan pesan penting bagi para pembaca dan siapa saja dengan majas Satire nan menggemaskan, yaitu sindiran halus dengan mengatakan hal yang berkebalikan dari pesan sesungguhnya. Benar-benar racikan kata yang pas.


Hhmm … Jadi, hal apakah yang membuat seorang cerdas membiarkan studinya sempat terbengkalai?

Lantas mampukah Sintong Tinggal memanfaatkan kesempatan terakhirnya untuk memperoleh gelar sarjana?

Lalu apa hubungannya dengan tokoh Sutan Pane?

Pesan apa yang ingin disampaikan Tere Liye dalam novel Selamat Tinggal ini?


Ah, tentu saja tidak seru jika kuceritakan semuanya sekarang juga. Baca sendiri dong, pinjam punya temen kek, pinjam di perpus kek, kalo perlu beli sendiri lah.


Eiittss, jangan lupa, baca bukunya yang ori ya, jangan yang bajakan. Oke? Siipp..

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[Resensi Buku #4] Si Anak Spesial

[Resensi Buku #7] Cinta Semanis Kopi Sepahit Susu

[Resensi Buku #5] Trilogi Soekram