Anak, Orangtua, dan Ponsel

11 Oktober 2020

Masih masa pandemi, tapi aku penasaran ingin melihat bengkel tempat suami melakukan perawatan mobil. Tentu saja aku bersemangat ingin ikut ketika ia mengajak. Apalagi pria kecilku, bahkan dia lebih bersemangat daripada aku.

Ku pikir bengkel akan sepi karena masih social distancing seperti ini. Ternyata, masih ada beberapa orang pengunjung lain yang kami temui. Kata suamiku, “Ini jauh lebih sepi dibanding hari biasa.”. Tetapi tidak bagiku. Ini sudah sangat ramai ku rasa. Mungkin karena sudah sekian lama aku tidak pergi ke tempat umum.

Kami duduk di kursi antrian, untuk mengantri ke loket pendaftaran. Di sana kami menemui sepasang suami istri dengan seorang anak perempuan. Pria kecilku yang melihat anak seumurannya, tentu saja ingin mengajak berteman. Namun anak perempuan itu sepertinya belum berminat. Sepertinya ia lebih suka menonton video di Youtube. Anak perempuan berambut pendek itu telah mendapat izin dan menonton Youtube di ponsel ayahnya.

Singkat cerita, setelah pendaftaran selesai. Kami menunggu di ruang tunggu yang berada di lantai dua. Tentu saja kami bertemu kembali dengan keluarga yang membawa anak perempuan tadi. Selain itu masih ada dua keluarga lainnya yang juga membawa anak.

Pemandangan yang ku lihat di sana, sepertinya sudah biasa di era milenial saat ini, namun sangat membuatku miris. Setiap anak sibuk dengan ponsel masing-masing, mungkin juga meminjam milik orantuanya. Entah menonton video di Youtube, atau bermain game online.

Ilustrasi gambar dari parenting.dream.co.id

Kecuali pria kecilku. Ia asyik memandangi ruang service mobil melalui jendela kaca ruang tunggu itu. Ruang service itu cukup luas, ada 13 mobil yang bergantian di-service oleh 3 orang montir. Pria kecilku mengomentari apapun yang ia lihat di sana. Tornado fan yang terus berputar. Mobil yang diangkat dengan hidrolik. Montir yang melepas ban satu per satu, hingga sedikit terlihat mesin mobil yang ada di dalamnya. “Kita lagi di atas ya, Bu?” Masyaa Allah, ternyata dia sudah menyadari posisi dirinya. 

Anak perempuan tadi, duduk di kursi yang berada di bawah TV. Ia terus saja menonton video di Youtube padahal TV sedang menyala. Namun, demi melihat anak kami yang bergerak dan berbicara aktif tanpa ponsel, sang ayah mulai gelisah. “Ayo Nak, sudah ya main HP-nya. Itu loh, main sama adek.” Hingga berkali-kali sang ayah membujuk, namun anak perempuan itu tetap saja asyik sendiri. Mungkin karena meniru ibunya yang saat itu juga sedang asyik berselancar di dunia maya.

Karena sang ayah semakin intens membujuk putrinya untuk berhenti bermain ponsel, akhirnya sang ibu pun turut membujuk. Mereka meminta agar gadis kecil itu melepas ponsel agar mau bermain bersama putraku. Mereka memulai dengan bertanya, “Itu loh, main sama adek, coba tanya, siapa namanya?”

Pria kecilku perlahan mulai mendekat. Hingga akhirnya, sang gadis kecil yang mengenakan gaun hitam motif polkadot itu perlahan mengembalikan ponsel kepada ayahnya.

Alif - pria kecilku dan Raras - gadis kecil itu, dengan malu-malu kemudian mereka duduk bersama di sebuah meja kaca, di kursi masing-masing. Raras memukul-mukul meja kaca itu dengan tangannya, Alif pun mengikuti. Raras berlari ke luar ruang tunggu menuju ke dekat tangga, Alif juga mengikuti. Aku dan ibu Raras pun harus bolak-balik mengikuti mereka yang terus menerus berlarian, untuk menjaga agar anak-anak kami tidak sampai terjatuh. Cukup melelahkan, namun ayah dan ibu Raras terlihat lebih bahagia melihat putrinya kembali aktif bergerak.

Begitulah. Ku rasa, tidak ada orangtua yang senang melihat anaknya bermain ponsel. Ku pikir, bukankah anak-anak hanya meniru apa yang sering mereka lihat? Anak-anak sering melihat orangtuanya sibuk dengan ponsel, mungkin terkadang mereka merasa diabaikan, jadi mereka juga ingin bermain ponsel seperti orangtuanya. Jika tidak ingin, maka orangtua harus rela menjaga jarak dengan ponsel. Cukup berat memang, apalagi pada kondisi pandemi seperti sekarang, banyak hal yang kita butuhkan berada dalam dunia virtual. Namun, bukankah orangtua harus rela berkorban demi anaknya?

Ya, dunia anak, dengan segala rasa ingin tahu mereka. Baik ayah maupun ibu harus benar-benar menghadirkan jiwa selama mendampingi anak-anak. Meski banyak konsekuensi yang harus dihadapi, tetapi ini semua demi perkembangan baik bagi generasi penerus bangsa.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[Resensi Buku #4] Si Anak Spesial

[Resensi Buku #7] Cinta Semanis Kopi Sepahit Susu

[Resensi Buku #5] Trilogi Soekram