[Resensi Buku #2] Mimpi Itu Gratis

Kalo bulan puasa gini, jalan ke mall pasti banyak yang nawarin diskonan. Apalagi baju-baju buat lebaran. Uuuuu ada yang ngasih diskon 20% , 50% , 70% , bahkan ada yang beli 1 gratis 2. Ngiler gak tuh? Tapi yaa sebanyak-banyaknya diskonan baju, paling murah yaa paling dapat 50ribuan satu. Segitu sih kemaren dapetnya, beli baju buat anak di Matahari, hihihi. Teruuuuuss ternyata Gramedia juga gak mau kalah dong bikin bazaar buku murah. Saya malah lebih ngiler nih pengen ambil semuaaa. Yaiyalah, harganya mulai 10ribuan. Baju diskonan 50ribu dapat satu, buku diskonan? 50ribu dapat banyaaaakkk. Uuuuu..

Nah, ini nih salah satu buku diskonan yang aku ambil. Check it out.


Judul Buku : Mimpi Itu Gratis
Penulis : AyuSha
Penerbit : Bhuana Ilmu Populer Kelompok Gramedia
Tahun Terbit : 2016 cetakan pertama
Dimensi : x + 132 hlm
Harga : Rp 10.000,- (harga bazaar siiisstt)

Judulnya menarik buatku, makanya pas liat buku ini langsung aku ambil, apalagi di bazaar itu bukunya tinggal satu, ya aku gak mau nyesel lah..

Dari bab pertama aku baca buku ini, rasanya hatiku turut bergetar mengikuti setiap kata yang diracik penulis. Masuk bab kedua, aku sudah tak tahan lagi, air mataku benar-benar mengalir.

Aku laksana musim panas yang kurang sabar menunggu musim gugur. Sekarang aku tak mampu menamai musim apa yang sedang kuhadapi. Di hadapanku saat ini, terpampang sebuah sekolah kehidupan, menjadi guru yang "hidup", dan belajar sekali lagi tentang menjadi "hidup".

Aku benar-benar salut dengan aksi nyata 12 orang guru itu. Mereka berangkat ke Papua, masing-masing ditempatkan di desa yang letaknya berjauhan. "Pahlawan zaman dahulu membawa rencong dan tombak untuk merebut kemerdekaan. Namun, kalian adalah pahlawan pendidikan. Kedatangan kalian membuat kami masih percaya bahwa kami bagian dari Indonesia, membuat kami percaya bahwa kepedulian generasi muda masih ada." Pesan pak Sekda yang membuat penulis merinding.

Penulis, sebut saja bu guru Ayu, mendapat tugas untuk mengajar di SD Alang-Alang. Tempatnya berada di desa Alang-Alang, dikelilingi hutan penuh gulma dan rumput alang-alang yang tinggi-tinggi. Suatu tempat yang belum pernah ia bayangkan sebelumnya, apalagi melihat kondisi sekolahnya, papan namanya pun sudah tertutupi alang-alang. Bu guru Ayu menguatkan hati, dimanapun tempatnya ia tetaplah seorang guru, pasti akan ada murid yang datang membutuhkannya.

Salomo Telenggen, Annike Kogoya, Yomis Telenggen, Dahlia Telenggen, Nelson, Desi, Yundion. Anak-anak kandung papua itu punya keunikan karakter masing-masing dengan latar belakang yang berbeda-beda. Butuh pendekatan khusus bagi bu guru Ayu untuk mengajari mereka. Tidak penting pakaian apa yang mereka gunakan, yang penting mereka hadir di sekolah. Sebagian orangtua masih beranggapan bahwa sekolah itu tidak penting, karena ketika ke sekolah mereka tidak akan mendapat betatas untuk dimakan.

Tidak ada mimpi yang kedaluwarsa. Anak-anak menatap heran ketika bu guru Ayu ikut menuliskan cita-citanya di pohon mimpi. Bu guru Ayu lah yang paling keras meneriakkan mimpi yang telah ditulis, menjadi PENULIS.

Suatu saat bu guru Ayu tersadar, bukan dirinya yang membuat Tuan Alang-Alang bersemangat, tapi anak-anak itulah yang membuat bu guru Ayu bersemangat. Hingga tiba 270 hari masa tugasnya, ia harus rela meninggalkan segala kenangan di hutan Alang-Alang, dengan harapan berjumpa anak Alang-Alang lagi setelah mereka menjadi apa yang mereka impikan. Dengan harapan papua tidak lagi tertinggal jauh dari daerah lain di Indonesia.

Kelebihan
Judul yang dipilih cukup menarik. Bagian isi dilengkapi foto-foto dokumentasi yang menggambarkan murid-murid SD Alang-Alang, menggambarkan kondisi sekolah dan menggambarkan kondisi alamnya. Bahasa yang digunakan sedikit puitis dan mampu menyentuh hati. Aku pikir buku ini membahas tentang tips-tips bagaimana mewujudkan mimpi, seperti buku yang pernah aku baca sebelumnya. Lebih dari itu, buku ini mampu menyadarkan pembaca bahwa siapapun boleh bermimpi dan tidak ada kata terlambat untuk berjuang mewujudkannya, walaupun itu mimpi yang sudah lama sekali.

Kekurangan
Mungkin akan lebih bagus kalau foto-fotonya dicetak berwarna. Pemilihan warna dan foto untuk sampul juga kurang tepat menurut saya, jadi kurang menarik untuk dilihat.

Well, jangan pernah menilai buku dari sampulnya, yang terpenting adalah bagaimana isinya. Seperti mimpi, tidak ada buku yang kedaluwarsa, tetap bermanfaat walau cetakan lama. Yang penting apa pemirsaaahhh??? Yang penting DIBACA.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[Resensi Buku #4] Si Anak Spesial

[Resensi Buku #7] Cinta Semanis Kopi Sepahit Susu

[Resensi Buku #5] Trilogi Soekram