[Travelogue #1-2] Bima, NTB - Museum Asi Mbojo

Museum Asi Mbojo.
Menurut bahasa asli, Asi adalah Istana, Mbojo artinya Bima.
Untuk bisa sampai di Museum Asi Mbojo, kita hanya perlu menyeberang jalan ke arah Timur dari Lapangan Serasuba. Hari itu Jum'at pagi jam 8 WITA, pintu gerbang museum sudah terbuka, tapi gak ada yang jaga. Trus masuknya bayar gak sih? Terlihat di lapangan area museum banyak muda-mudi berpakaian putih-putih dengan sabuk putih juga, mungkin sedang latihan karate. Satu dua sepeda motor pun keluar masuk gerbang museum. Karena gak ada yang jaga, kami langsung masuk gerbang.

Tampak bangunan kayu dominan di cat putih dengan model khas, terlihat di sekitarnya dikelilingi beberapa meriam kuno.

Pintu depan bangunan itu baru dibuka, tapi kami tidak langsung masuk. Terlebih dahulu kami mendekat ke sebuah batu besar yang terletak lurus ke arah barat dari pintu masuk. Batu besar itu dilindungi atap daun. Seperti sebuah prasasti, mungkin salinan, berisi maklumat sang Sultan mengenai penyerahan kota Bima kepada NKRI.

***

Menuju pintu masuk, kami disambut seorang bapak dan seorang ibu. Dengan membayar Rp4.000 untuk dua orang dewasa dan satu orang bayi, kami dipersilakan masuk dengan melepas alas kaki. Kami tamu pertama. Si bapak menemani berkeliling museum dan memberi penjelasan.

***

Berdasarkan silsilah keluarga kesultanan, ternyata ada hubungan dengan Pandawa Lima dari Jawa, juga ada salah satu keluarga yang menikah dengan seorang putri dari Banten, ada juga yang menikah dengan seorang dari Trunojoyo, Madura. Hmm, abad 17 aja petualangan cinta segitu luasnya ya..

Si bapak mengajak ke ruangan sebelah kiri dari pintu masuk. Senjata-senjata para pejabat ditata di dalam lemari kaca. Para pengunjung hanya bisa melihat dari luar teralis besi. Suami terlihat antusias ketika si bapak menjelaskan salah satu senjata.

"Nah yang ini senjata untuk eksekusi."

"Maksudnya untuk hukuman mati pak?"

"Iya hukuman mati."

"Kayak syariat Islam ya pak. Bedanya ini ditusuk bukan dipenggal."

***
Lantai dua istana, terdiri dari beberapa kamar tidur untuk istirahat, juga ada ruang kerja khusus untuk Sang Sultan.Yang membuatku tertarik, hampir di setiap kamar, tidak hanya tersedia ranjang kasur untuk tidur dan lemari dengan kaca untuk bercermin, tapi juga disediakan kursi dan meja kecil. Kata si bapak sih untuk duduk santai. Tapi menurutku itu keliatannya enak buat nulis, jadi pengen kayak gitu, hihihi. Menariknya lagi, di istana ini terdapat kamar tidur khusus untuk Bung Karno.

Ya Bung Karno, Presiden pertama RI. Menurut penuturan si bapak, konon Bung Karno pernah berkunjung ke Kesultanan Bima. Ternyata dulu Bung Karno sempat memberikan tawaran kepada kota Bima untuk dijadikan Daerah Istimewa seperti Jogja dan Aceh, tapi rakyatnya menolak. Ya sudahlah.

Kemudian si bapak menunjukkan sebuah bingkai berisi aksara-aksara yang ada di Indonesia. Sedih aku tu pas si bapak bilang,

"Ini huruf Mbojo, huruf asli Bima, tapi kami semua gak ada yang bisa tulisannya, bahasa lisannya aja yang kami bisa."

Lebih sedih lagi, daftar aksara yang ada di bingkai itu pun di dapat dari Inggris. Huhuu, itu kekayaan Indonesia loohh..

***
 
Masih di lantai dua istana, si bapak terus mengajak kami menyusuri kamar-kamar lainnya. Sampai pada sebuah kamar yang dikunci gembok. Aku yang gendong baby, dia tampak mulai gelisah.

"Kenapa sayang ngantuk kah?"

"Ini juga kamar salah satu putri, waktu kejadian banjir, keluarga sultan menyelamatkan barang-barang istana dan disimpan di kamar ini. Sampai sekarang belum dibuka dan belum dibereskan lagi."

Baby ikut memperhatikan dan sedikit tenang, tapi pandangannya mulai berbeda.

Lorong sedikit berbelok, ternyata ada dua kamar mandi. Agak heran sih, kok kamar mandinya sudah modern, dengan closet duduk. Nah di ujung lorong . . .

"Ini tempat eksekusi."

Hawanya berbeda. Ruangan ini tidak di cat, warna kayu asli. Aku tidak fokus lagi mendengarkan penjelasan si bapak, sejak beliau menyebut kata "makhluk halus".

"Dulu pernah ada bule masuk sini pakai sepatu, tiba-tiba lari sampai turun tangga. Katanya lihat ada orang ngejar dia sambil bawa tombak. Makanya sejak saat itu gak boleh lagi masuk istana ini pakai sandal atau sepatu. Kalo kita sih sudah biasa, gak takut-takut lagi."

"Iya ya pak. Kan sama-sama makhluk." Aku sok berani.

"Dulu sultan sering ke ruangan ini untuk bertemu dengan makhluk halus."

Dan seterusnya, si bapak masih terus menjelaskan, suami masih terus memperhatikan. Aku sudah tidak tahan, tapi gak enak mau bilang udahan. Sambil terus mengendong baby, pelan-pelan kaki kananku melangkah mundur.

Lega akhirnya diajak turun juga.

***

Sisi kanan istana di lantai bawah dipajang alat-alat pertanian dan foto-foto pada masa itu.

Aku melihat ke atas, ke langit-langit ruangan. Perasaan tadi di ruang eksekusi kayak ada lubang, tapi kok dari bawah sini gak keliatan. Dalam hati aku masih penasaran.

Kami terus mendengarkan penjelasan si bapak tentang foto-foto yang dipajang di dinding. Baby sampai ketiduran digendong.

Terakhir, tentang alat-alat menenun. Alhamdulillah, berakhir sudah petualangan kami di Museum Asi Mbojo.

***

Memang yang paling seru dan yang paling diingat ya ruang eksekusi itu. Balik ke hotel pun suami bilang,

"Tadi baby pas di ruangan itu pandangannya kemana-mana, kayak tertarik melihat sesuatu yang baru. Entah itu apa."

Untuk menulis bagian ini pun, aku gak berani malam-malam pas lagi sendirian. Hihihi..
 
Jujur aku masih penasaran, lubang berbentuk persegi panjang dan diberi pagar yang ada di ruang eksekusi itu. Mungkin lain kali bisa berkunjung lagi dan mencari tau. Atau mungkin teman-teman berminat mengunjungi Museum Asi Mbojo dan menceritakan pengalamannya?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[Resensi Buku #4] Si Anak Spesial

[Resensi Buku #7] Cinta Semanis Kopi Sepahit Susu

[Resensi Buku #5] Trilogi Soekram