[Travelogue #1-3] Bima NTB - Kereta Kuda dan Pak Kusirnya

Tuk tik tak tik tuk tik tak tik tuuuk
Tuk tik tak tik tuk tik tak
Suara sepatu Kuda
22 Nov 2019

Dua minggu berlalu, aku kembali menjalani aktivitas seperti biasa, sebagai pegawai yang banyak liburnya, hahaha.. Ya, dua minggu yang lalu aku di sana, untuk bisa menginjakkan kaki di kota itu saja aku tak pernah menyangka. Bagiku, sesederhana apa pun kenangannya, masih terus terngiang di kepala.

Perbedaan yang paling terasa antara kota Bima dan kota tempat tinggal ku saat ini adalah, di sini penuh sesak kendaraan, sedangkan di sana kita bisa temukan hewan dan "jejak"nya di mana-mana. Ya seperti ceritaku tentang bayi yang mengejar kambing dan 3 ekor anaknya. Warga Bima memang terbiasa melepas begitu saja hewan peliharaan mereka. Jadi saat berkunjung ke kota Bima jangan heran kalo ketemu rombongan kambing atau sapi berkeliaran di jalan raya.

Nah, kali ini tentang sebuah kendaraan tradisional, yang berkaitan dengan hewan, yang hingga saat ini masih eksis di Bima. Yups, kereta kuda. Banyak nama untuk kendaraan unik yang satu ini, ada yang menyebutnya delman, dokar, andong, kalo di daerah Lombok namanya Cidomo, kalo di Bima sendiri disebut Benhur. Apapun namanya, kendaraan tradisional ini memiliki ciri khas yang sama, yaitu sebuah kereta yang dapat digunakan untuk membawa barang atau sekitar 5 - 6 orang dewasa, yang ditarik oleh seekor kuda dan dikendalikan oleh seorang kusir.

Setelah pertama melihat ada kereta kuda melintasi Museum Asi Mbojo, aku langsung bilang ke suami, "Keliling kota Bima naik itu enak kali ya, baby pasti senang." Ya, bayi kecil ku suka sekali diajak bertemu hewan.

***

8 Nov 2019

Sore itu, sore kedua kami di Bima, memang ada rencana mau ngajak baby naik kereta kuda. Kami bertiga sudah mandi dan menunaikan fardhu Ashar. Tapi, si baby malah tidur, kasian dia keliatannya capek sekali abis keliling Museum tadi pagi.

Tunggu.. Tunggu.. Tunggu..

Akhirnya baby baru bangun saat sudah hampir jam setengah 5 wita. Maghrib kira-kira 1,5 jam lagi.

"Jadi, naik kereta kuda apa makan dulu?"

"Ya kalo ketemu kereta kuda, kita naik. Kalo gak ketemu ya makan dulu aja, biar malam gak usah makan lagi."

Baiklah, kami berjalan kaki ke arah utara. Niat hati mau makan ayam goreng di KFC, eehhh.. ternyata di perempatan pasar ada beberapa kereta kuda dan kusirnya lagi nunggu penumpang. Pucuk dicinta lalu ketemu kuda, hehe..

"Bentar lagi mau maghrib, gimana nih? Makan dulu apa naik kereta kuda?"

"Naik dulu aja lah, keliling bentar. Kan kita gak tau keretanya sampai malam apa gak."

Tukutukutuk.. Kami pun berjalan mendekati "pangkalan" kereta kuda itu.

"Mau kemana pak bu?" Semua pak kusir yang ada disitu langsung menyerbu kami, rasanya seperti ditawari taksi kalo lagi di bandara.

"Kalo keliling-keliling kota berapaan pak?" Biar pak suami aja lah yang nego.

"Tiga puluh pak, keliling di sekitar sini aja kan?" Aku dengernya sih segitu, tapi ada satu pak kusir yang sedari tadi terlihat lebih diam dibanding yang lain.

"Lima puluh ribu pak." Kata pak kusir pendiam dengan suara lirihnya. Daritadi tawar menawar memang terjadi di kereta bapak ini, pak kusir-pak kusir yang lain aja bikin rame ikutan nimbrung.

"Oke pak lima puluh." Suami mengiyakan. Sebenarnya dalam hati aku heran, kok Mas Bojo milih yang lebih mahal sih? Tapi aku diam aja, dan langsung naik ke kereta kuda, aku yang naik duluan sedangkan baby belakangan sama si bapak. Tiba-tiba..

Dug . . .

Hooaaaaa..

Baby menangis karena kejedug atap kereta, membuat pengalaman pertamanya naik kereta kuda jadi sedikit tegang. Cup cup cuppp.. Ayo kita nikmati sore ini dengan mengelilingi kota Bima nak..

Semilir angin..

Aktivitas warga di sore hari..

Napak tilas kejadian banjir bandang..

Suara sepatu kuda yang berirama..

Masyaa Allah nikmat sekali, tanpa sadar sepertinya senyum ini tak mampu lagi kusembunyikan. Ketegangan baby pun berangsur hilang, ia juga terlihat menikmati keliling kota dengan kereta kuda.

Tapi.. Kok kayaknya makin jauh muter-muternya? Bukannya ini menuju Jalan Raya Tepi Pantai yang mau ke arah bandara? Bolak balik Mas Bojo melirik jam tangan, kita memang gak suka maghrib-maghrib di jalan.

"Nah, ini namanya Masjid Terapung pak bu. Mau turun dulu gak di sini?" pak kusir menawari. Sebenarnya aku ingin, tapi Mas Bojo bilang langsung aja, soalnya udah sore banget.

Pak Kusir kembali menarik kendalinya. Kami tau jalan lurus itu adalah jalan kembali menuju tengah kota. Tapi pak Kusir bilang, "Mau lewat sini gak?" maksudnya belok kiri, kami pikir mungkin dia tau jalan pintasnya, jadi kami iya-iya aja.

Ternyata..

"Nah, sekarang kita sudah sampai di Pelabuhan. Tuh, kapalnya sudah keliatan. Kudanya istirahat dulu ya."

Lamat-lamat adzan maghrib berkumandang. Astaghfirullah.. Kenapa tadi gak turun di Masjid Terapung aja?

***

9 Nov 2019 

Hari-H kondangan. Di undangan tertulis resepsinya mulai jam 14.30 wita.

"Jadi mau naik taksi online apa kereta kuda lagi nih?"

"Coba tanya pak kusirnya, bisa jemput gak nanti?" Kemarin sore pak kusir yang ternyata bernama Yusuf itu telah memberikan nomor teleponnya. 

"Haloo pak yusuf? Pak, ini yang di hotel Lambitu, nanti jam 2 seperempat bisa antar kita ke Gedung Paruga Na'e gak pak?"

"Sabar ya.. Saya lagi ngasih makan kuda." Padahal kami menelpon masih jam 13.00, si bapak kayak udah buru-buru aja pengen jemput.

14.10 wita. Aku, Mas Bojo dan si baby sudah rapi. Ternyata pak Yusuf dan kereta kuda sudah menunggu di depan hotel. Di tengah cuaca kota Bima yang terik siang itu, Pak Yusuf terlihat sedang tidur dengan badan melengkung di atas kereta. Kami tunggu sekitar 5 menit, memang kami berniat mulai jalan jam 14.15 wita.

Saat kereta kuda itu mulai berjalan, lagi-lagi sumringah tak mampu ku sembunyikan. Sejuknya semilir angin. Aku senang naik kereta kuda, apalagi bersama Mas Bojo dan si baby. Tapi kalo melihat ke arah kuda, kasihan dia pasti lelah. Jangan paksa kereta kuda ini ngebut menandingi kendaraan bermesin. Berkali-kali ku tanya jam berapa ke Mas Bojo.

"Udah mulai belum ya acaranya?"

"Kalo telat ya udah gakpapa. Yang penting sampai sana."

Aku ingat, ini jalan yang kami lewati kemarin sore. Kemarin pak Yusuf sempat menunjukkan jalan menuju ke arah Gedung Paruga Na'e. Tapi kok kayaknya kelewatan, tapi aku diam saja, mungkin pak Yusuf tau jalan lainnya.

Tapi tiba-tiba..

"Mana ya jalannya? Lupa saya pak?"

"Loh.. bukannya lewat jalan yang tadi itu pak? Kemarin sore kita lewat sana pak, udah kelewatan."

"Oiya ya. Maaf pak saya lupa." Pak Yusuf langsung memutarbalikkan kereta kudanya. Dan terus menanyakan kepada kami apakah ini jalannya. Akhirnya, Mas Bojo yang memandu arah dengan mengikuti petunjuk dari Google Maps. Hahaha.

Kami pun tiba di gedung Paruga Na'e tempat resepsi pernikahan sahabat dilaksanakan. Rasanya semua mata tertuju pada kami, hanya kami bertiga yang ke gedung itu diantar dengan kereta kuda.

***

29 Nov 2019

Pelajaran yang ku ambil dari kisah perjalanan ini..

1. Keikhlasan
    Pak Yusuf selalu ikhlas menerima bayarannya, tidak pernah menghitung jumlah uang yang kami berikan, tidak pernah merasa kurang. Mungkin kelihatannya sore itu pak Yusuf meminta bayaran yang lebih besar dibanding kusir lainnya, tapi aku tidak yakin apakah kusir lain akan mengantarkan kami berkeliling lebih jauh dibanding pak Yusuf. Maksudku, pak Yusuf bisa saja meminta bayaran yang lebih besar karena sudah mengantarkan kami sejauh itu.

2. Nikmati perjalanan dan ikuti kata pemandu
    Ya, sebenarnya sore itu pak Yusuf secara tidak langsung telah menjadi pemandu wisata kami. Pak Yusuf memberikan saran untuk berkunjung ke Masjid Terapung, tapi kami terburu-buru karena ingin segera mengakhiri perjalanan. Jika kami mengikuti arahan pak Yusuf, tentu kami tidak akan menyesal karena saat adzan Maghrib berkumandang kami hanya diam menunggu sambil menemani si kuda beristirahat di pelabuhan.

3. Sabar dan temukan solusi
    Kami bisa saja marah-marah saat pak Yusuf mengatakan lupa jalan, padahal dia adalah penduduk lokal. Tapi saya dan suami memang tidak suka marah-marah. Untuk apa? Toh kita bisa gunakan teknologi canggih bernama Google Maps untuk menemukan jalan dan sampai tujuan.






#belajarnulis #KelasMenulisSkoper

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[Resensi Buku #4] Si Anak Spesial

[Resensi Buku #7] Cinta Semanis Kopi Sepahit Susu

[Resensi Buku #5] Trilogi Soekram