[Resensi Buku #5] Trilogi Soekram


Judul Buku :Trilogi Soekram
Pengarang : Sapardi Djoko Damono
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit : 2016, cetakan keempat
Dimensi : vi + 273 hlm
Harga : Rp 62.000


Buku ini, pertama kali diterbitkan pada Maret 2015. Aku beli di Agustus 2017. Dan aku selesai baca di Oktober 2019. Tapi buku gak pernah basi kan? Hhhmm.. Basi sih bisa aja kali ya. Basi dalam artian, gak up to date, ketinggalan jaman. Huh, bodo amat ah, toh di setiap buku gak ada label Expired Date-nya.

Oke, terserah apapun itu. Yang pasti kamu harus ingat Bhil. Buku-buku yang sudah lama tersusun di rak kamarmu itu bukan cuma pajangan. Kamu harus membacanya Bhil! Lalu sekarang apa pendapatmu tentang buku ini?

Jujur aku baru kenal Eyang Sapardi, yang ternyata kelahiran tahun 1940. Beliau menulis sejak tahun 1974. Penulis yang sudah sangat senior, berbagai macam penghargaan telah beliau raih, dan aku baru membaca satu dari sekian banyak buku yang beliau tulis. Hellooowww.. Kemana aja gue selama ini?

Kenapa aku baru selesai baca buku ini setelah 2 tahun yang lalu aku membelinya? Sebenarnya 2 tahun yang lalu aku sudah membaca bagian pertama, gak sampe habis sih bagian itu. Aku berhenti membaca buku ini karena bingung dengan jalan ceritanya. Aku baru tau dengan istilah short term plot twist. Ya seperti bagian pertama buku ini, bagian Pengarang Telah Mati. Short term plot twist artinya alur berputar jangka pendek. Yang aku pahami mengenai jenis plot yang satu ini, dalam satu bagian cerita atau bisa jadi dalam satu paragraf, alurnya bisa berubah dengan cepat. Latar waktu dan tempat bisa berubah-ubah dan bisa kembali lagi ke cerita awal. Ibaratkan kalo nonton film, si tokoh lagi menghayal, dalam pikirannya dia sudah pergi kemana-mana dan melakukan banyak hal, sampai penonton gak sadar kalo sebenarnya si tokoh lagi menghayal. Awalnya bingung sih memang, mungkin karena aku belum terbiasa membaca cerita dengan alur seperti ini. Tapi setelah ku kumpulkan niat dan tekad yang kuat akhirnya aku bisa melanjutkan membaca buku ini sampai habis. Hingga ku sadari tulisan Eyang Sapardi ini sangat menarik dan ada sisi lucunya juga.

Soekram, tokoh utama yang tentu saja adalah tokoh rekaan, punya ambisi untuk jadi pengarang. Pada bagian Pengarang Telah Mati, Soekram mengadu kepada sahabat sang pengarang, ia mengatakan bahwa pengarangnya sudah meninggal. Soekram menunjukkan beberapa file yang berisi cerita tentang dirinya, ia memaksa sahabat pengarangnya untuk menerbitkan cerita-cerita itu menjadi sebuah buku. Pada bagian ini lebih banyak cerita dengan latar belakang perjuangan mahasiswa meruntuhkan pemerintahan pada masa Orde Baru. Soekram berperan sebagai seorang dosen yang berusaha bersikap netral. Namun konflik lebih banyak terjadi dalam pikiran Soekram karena ia terlibat dalam cinta segiempat. Soekram, Minuk, Ida dan Rosa.

Bagian kedua, ternyata Pengarang Belum Mati, buktinya sahabat bertemu dengan penulis novel itu di warung sate pada suatu malam. Sang pengarang menyerahkan sebuah disket kepada sahabatnya, ia meminta sahabat untuk menerbitkan ulang buku itu. Katanya disket itu berisi naskah yang belum diacak-acak oleh si Soekram, tokoh rekaan yang berambisi menjadi pengarang. Pada bagian ini tokoh Soekram berada pada masa menjelang pemilu pertama di negeri ini. Tokoh itu berperan sebagai mahasiswa yang bingung mau masuk partai mana. Ia juga bingung dengan cintanya kepada seorang gadis. Saking bingungnya Soekram sampai frustasi dan bertapa di sebuah gua untuk mencari ketenangan. Kalimat yang paling ku suka pada bagian kedua ini : di padang pasir tidak ada yang melarangmu memakan pasir. Jujur aku masih belum paham maksud dari kalimat itu.

Bagian ketiga Pengarang Tak Pernah Mati, tokoh Soekram ini malah semakin konyol menurutku. Bisa-bisanya Soekram terlibat dalam kisah Sitti Nurbaya dan Datuk Meringgih? Mungkin saking berambisinya menjadi pengarang yang menurut dia bisa bebas menentukan kisahnya sendiri. Lah, ujung-ujungnya malah ketemu Marah. Tau kan Marah? Marah Rusli, pengarang novel Sitti Nurbaya. Bisa-bisanya Marah Rusli masuk dalam ceritanya Soekram. Dasar Soekram.

Hhhmm.. Jujur lagi nih ya.. Jujur aku belum pernah baca novel Sitti Nurbaya. Gara-gara novel Eyang Sapardi nyeritain aku jadi sedikit tahu kisahnya, jadi pingin baca novelnya. Emang masih ada?

Pelajaran yang ku ambil dari novel Trilogi Soekram ini apa ya?
Menurutku, kita sebagai manusia hampir sama seperti Soekram. Soekram itu tokoh rekaan, ciptaan sang pengarang. Sedangkan kita? Kita ini makhluk ciptaan Allah. Melihat tingkah Soekram yang ingin seenaknya saja mengatur kisah cinta dan kisah hidupnya, itu sangat tidak mungkin. Soekram hanyalah tokoh rekaan, yang hanya tersusun atas huruf-huruf dan hanya bisa menjalani hidup berdasarkan yang ditulis pengarangnya. Lalu kita? Apa hak kita menentukan arah hidup kita? Sedangkan Allah telah Menuliskan takdir kita, setiap detail rincian gerak-gerik kita. Astaghfirullahal'adzim..

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[Resensi Buku #4] Si Anak Spesial

[Resensi Buku #7] Cinta Semanis Kopi Sepahit Susu